Dosen
pembimbing: Ermawati S., S.Pd., M.A.
MATA KULIAH SINTAKSIS LANJUT
KALIMAT IMPERATIF: Pemarkah-pemarkah kalimat Imperatif BMP, Klasifikasi
Kalimat Imperatif BMP, Modus kalimat pengungkap makna perintah
Disusun
oleh kelompok 4
Afrinaldi
Arfi
Adhila
Ario
Wibibi
Elma
Namira
Mayanti
Rika
Susanti
Tommy
Rafeldi
Kelas: 6.E
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat dosen
pembimbing kita yaitu Ibu Ermawati S., S.Pd., M.A. dalam mata kuliah sintaksis
lanjut, yang telah memberikan ilmunya serta arahan-arahan yang ada dalam tugas
ini. Berkat bantuan teman-teman seperjuangan juga yang telah memberikan
masukan-masukan terhadap penyusunan makalah ini, dan yang paling utama adalah
berkat dorongan dan bimbingan kedua orangtua,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi dan berjalan sesuai
yang diharapkan bersama.
Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian
makalah ini. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Mohon maaf jika terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan ataupun dari segi kelengkapan dalam makalah ini. Dari kesalahanlah kita dapat belajar dan
mengerjakan semua ini menjadi lebih baik lagi. Atas kritik dan sarannya dapat
disampaikan kepada tim penyusun makalah ini.
Pekanbaru, 15 Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB 1 Pendahuluan.................................................................................................. 1
1.1. Latar belakang.................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................... 2
1.3. Tujuan................................................................................................................. 2
BAB
2 Pembahasan................................................................................................... 3
2.1. Pemarkah-pemarkah
kalimat Imperatif BMP..................................................... 3
2.1.1. Pemarkah
berkategori intonasi......................................................................... 3
2.1.2. Pemarkah
berkategori Gramatikal.................................................................... 4
2.1.3. Pemarkah
berkategori leksikal......................................................................... 5
2.2. Klasifikasi Kalimat
Imperatif BMP.................................................................... 12
2.3. Modus kalimat pengungkap
makna perintah...................................................... 18
BAB 3 Penutup......................................................................................................... 23
3.1. Kesimpulan......................................................................................................... 23
3.2. Saran................................................................................................................... 23
DaftarPustaka............................................................................................................ 24
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bahasa
daerah sebagai unsur pendukung kebudayaan dan bahasa nasional perlu dipelihara,
dibina, dan dikembangkan. Bagi kalangan akademik, khususnya yang menekuni
linguistik, hakikat dari pemeliharan, pembinaan, dan pengembangan bahasa,
khususnya bahasadaerah harus diupayakan secara terus menerusdengan meneliti
berbagai aspek kebahasannya.
Bahasa
minangkabau termasuk salah satu bahasa daerah yang terpenting dikawasan
nusantara. Pentingnya bahasa minangkabau tidak hanya terlihat dari fungsinya
sebagai alat komunikasi, tetapi dapat dilihat dari aspek-aspek lain, yaitu
berdasarkan jumlah penduduknya, luas penyebarannya, dan peranannya dalam sarana
ilmu, sastra, dan budaya.
Penggunaan
bahasa Minangkabau oleh masyarakat Minangkabau sebagai alat komunikasi
berjumlah ±8,2 juta jiwa (sensus 1990). Jumlah ini meliputi penutut bahasa
Minangkabau yang ada di Minangkabau dan di perantauan. Keraf dalam Noviatri
(2011:1) mengatakan bahwa bahasa Minangkabau termasuk salah satu rumpun bahasa
Melayu Polinesia (rumpun Austronesia). Dengan demikian tidak menutup
kemungkinan bahwa bahasa Minangkabau, termasuk bahasa Minangkabau, termasuk
bahasa Minangkabau yang dituturkan di daerah Pariaman yang disingkat dengan
b.M.P, mempunyai kemiripan-kemiripan dengan bahasa Indonesia, baik dari segi
struktur lingualnya, maupun dari sistem lingualnya.
Pariaman merupakan salah satu nama
daerah di Sumatera Barat yang menjadi ibukota Kabupaten Padang Pariaman. Secara
geografis Pariaman terletak lebih kurang 60km dari kota Padang. Di pilihnya
bahasa b.M.P sebagai objek kajian dan dijadikan kalimat imperatif karena
didasarkan pada dua hal. Pertama, berdasarkan kajian pustaka bahwa
kalimat imperatif sebagai salah satu jenis atau golongan kalimat b.M.P belum
pernah mendapat perhatian khusus dari para penulis b.M.P. Kedua, adanya
semacam kekhususan yang ditemui dalam kalimat imperatif b.M.P., terutama
bentuk-bentuk pemarkahnya dan kehadiran kategori fatis.
Dalam b.M.P untuk menyatakan makna
perintah tidak selamanya diungkap dengan memanfaatkan modus kalimat yang
berstruktur imperatif, tapi juga dapat diutarakan dengan modus kalimat
deklaratif dan interogatif, tetapi berfungsi untuk menyatakan perintah.
Pengungkapan makna perintah secara langsung diutarakan dengan menggunakan modus
kalimat imperatif, sedangkan pengungkapan makna perintah secara tidak langsung
dapat diutarakan melalui modus kalimat deklaratif dan interogatif, akan tetapi
berfungsi menyatakan perintah.
Menurut
fungsinya, kalimat dapat dirinci menjadi kalimat imperatif, kalimat deklaratif,
kalimat interogatif, dan kalimat eksklamatif. Semua jenis kalimat itu dapat
disajikan dalam bentuk positif dan negatif. Tiap-tiap kalimat yang berada dalam
klasifikasi tersebut memiliki konstruksi khusus yang menjadi ciri formalnya.
Chaer
(2009: 197) menyatakan “kalimat yang meminta pendengar atau pembaca melakukan
suatu tindakan. Kalimat imperatif ini dapat berupa kalimat perintah, kalimat
himbauan, dan kalimat larangan”.
Kalimat imperatif atau kalimat
perintah secara formal memakai partikel penegas, penghalus, dan kata tugas
ajakan, harapan, permohonan, dan larangan yang mengandung maksud atau meminta
agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Ciri lain
kalimat imperatif dapat diawali kata seperti tolong, coba, mari, silahkan dan
biar.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
pemarkah-pemarkah kalimat imperatif BMP?
2. Apa saja yang
mencakup klasifikasi kalimat imperatif BMP?
3. Bagaimana modus
kalimat pengungkap makna perintah?
1.3 Tujuan
1. Agar dapat memahami pemarkah-pemarkah dalam
kalimat imperatif BMP.
2. Agar dapat mengetahui klasifikasi kalimat
imperatif BMP.
3. Agar dapat mengetahui cara modus kalimat
pengungkap makna perintah.
BAB II PEMBAHASAN
1.
Pemarkah-pemarkah
Kalimat Imperatif BMP
Satuan lingual yang merealisasikan
keimperatifan sebuah kalimat dapat disebut sebagai “pemarkah”. Amiuddin dalam
noviatri (1988: 129) menyebutkan bahwa pemarkah mengandung ciri khusus yang
dimiliki setiap anggota kelas makna dan dengan ciri khusus itu berperan sebagai
tanda. Dalam kaitannya dengan kalimat imperatif pemarkah-pemarkah tersebut
dapat memarkahi keimperatifan sebuah kalimat. Dalam hal keimperatifan kalimat
b.M.P dijumpai beberapa bentuk pemarkah berkategori gramatikal dan pemarkah
berkategori leksikal.
Sudaryanto dalam noviatri (1994: 66)
meyatakan bahwa pemarkah berkategori gramatikal dan leksikal termasuk pemarkah
yang berupa unsur segmental. Di samping pemarkah yang berupa unsur segmental
ada pula pemarkah yang berupa intonasi, pemarkah berkategori gramatikal, dan pemarkah
berkategori leksikal. Berkaitan dengan pemarkah-pemarkah itu, b.M.P sebagai
bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia sangat terkait dengan
masing-masing pemarkah itu.
1.1. Pemarkah Berkategori Intonasi
Ramlan dalam noviatri (1986: 43) menyebutkan bahwa
berdasarkan ciri formalnya, kalimat imperatif memiliki intonasi yang berbeda
dengan pola intonasi berita dan tanya yang selanjutya digunakan istilah
deklaratif dan interogatif. Dikatakannya bahwa pola intonasi kalimat imperatif
adalah [2] 3 2 # jika diikuti partikel {-lah} pada P-nya. Dalam ragam tulis
dimarkahi oleh tanda (!).
Konstruksi kalimat imperatif yang dimarkahi oleh
pemarkah berupa intonasi, dalam hal ini adalah pola intonasi imperatif,
konstituen pengisi fungsi P-nya dapat berupa verba transitif dan intrasitif.
Perhatikan contoh kalimat berikut.
(1) Adia?-adia? Anoa?!.
Adik-adik
diam!.
‘Adik-adik
diamlah!’.
[2]
3 // [2] 3 2 #
(2) Adia?-adia? Anoa?lah!.
Adik-adik diam PART
‘Adik-adik diamlah!.’
[2] 3 // [2] 3 2 #
(3) (Wa?)
ang tapua? muncuang paja tu!
PRON II TG tepuk mulut PRON III TG
itu!
‘kamu
pukul mulut anak itu!.’
[2] 3 // 2 2 1 #
Kalimat (1) dan (3) merupakan kalimat imperatif yang
dimarkahi oleh intonasi imperatif. Tekanan inti atau tekanan tertinggi jatuh
pada suku kata terakhir verba pengisi fungsi P atau suku kata terakhir tempat
{-lah} bergabung yang dimarkahi oleh pola intonasi 3.
1.2. Pemarkah berkategori Gramatikal
Ada
dua bentuk pemarkah yang berupa pelesapan afiks dan pemarkah yang berupa
penambahan partikel.
1.2.1 Pemarkah
Berkategori Gramatikal berupa Pelesapan Afiks
Pada
b.M.P kalimat imperatif dapat dimarkahi oleh lesapnya afiks pada verba pengisi
fungsi P yang polimorfemis, yaitu lesapnya afiks {maN-} dan {di-}.
1.2.2 Pemarkah
Berkategori Gramatikal berupa penambahan
partikel
Kridalaksana
dalam noviatri (1993: 155) meyebutkan bahwa partikel merupakan bentuk yang
tidak dapat diderivasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna leksikal.
Dalam b.M.P, dijumpai sebuah partikel yang dapat memarkahi keimperatifan
kalimat, yaitu partikel {-lah}.
Partikel ini mempunyai peranan dan pemakaian
yang sangat produktif, sebab penutur b.M.P senantiasa menambahkan partikel
ini dalam mengungkapkan kalimat yang menyatakan perintah yang cenderung
berfungsi sebagai penghalus atau penegas perintah.
Contoh:
Bapayuanglah
aba? Bia inda? Kamai ujan!
Bapayuang PART
ayah biar tidak kena hujan!.
‘berpayunglah
ayah biar tidak kehujanan!.’
Selain itu,
dapat berpindah tempat secara gramatikal. Sebagai bukti bahwa partikel {-lah} bersifat enklitis, opsional dan
dapat berpindah tempat diuji dengan teknik balik, teknik lesap, dan teknik ubah
wujud.
1.3 Pemarkah
Berkategori Leksikal
1.3.1 Pemarkah
berkategori Leksikal berupa kata Suruh Afirmatif
Pelaku
verba kalimat imperatif bisa berupa pronomina persona pertama tunggal (PRON I
TG), pronominal persona kedua tunggal (PRON II TG), dan pronominal personal
ketiga tunggal (PRON III TG). Kata suruh afirmatif yang dapat memarkahi
keimperatifan kalimat b.M.P mencakup kata seperti berikut.
1.3.1.1 Kata
suruh Afirmatif cubo ‘coba’
Kata suruh cubo
dapat memarkahi keimperatifan kalimat b.M.P konstituen pengisi fungsi Pkalimat
imperatif berpemarkah cubo dapat
berupa verba monomofemis dan polimorfemis. Kehadiran kata suruh cubo dalam kalimat bersifat
ekstraklausal, karena kata itu tidak naik secara sintaktik, maupun secara
semantik bukan merupakan bagian internal kalimat imperatif.
Contoh:
Cubo kau
lakea?an tarompa tu!
KATA SURUH AF,
PRON II TG pakai tarompa tu!.
‘coba kamu pakai sendal itu.’
Cubo aden
kuduang Rambui? Kau
KATA SURUH AF
PRON I TG potong rambut PRON II TG!
‘Coba saya
potong rambutmu!.’
Cubo awa?
Angkea? Lamari tu!.
KATA SURUH AF.
PRON I JI angkat lemari!
‘coba kita
angkat lemari itu!.’
1.3.1.2 Kata
suruh Afirmatif Toloang ‘tolong’
Kata
suruh Toloang ‘tolong’ juga dapat memarkahi keimperatifan kalimat b.M.P
konstituen pengisi fungsi P-nya bisa berupa verba monomorfemis dan polimorfemis
yang transitif. Wolf dalam noviatri (1972: 44) menyebutkan bahwa kata toloang
dapat digunakan untuk menyampaikan permintaan bantuan terhadap mitra tutur.
Kemudian ditambahkan pula oleh Wolff bahwa kata toloang menunjukkan rasa sedikit hormat, sedangkan kata cubo terasa lebih formal.
Kuswanti
dalam noviatri (1980: 170) dengan tegas menyatakan bahwa dalam konstruksi
imperatif bahasa Indonesia, proomina persona kedua bukan konstituen yang
menduduki fungsi S (subjek), kecuali dalam konstruksi yang verbaya berawalan
{meN-}. Pernyataan ini terealisasikan dalam b.M.P, sebagaimana tampak pada
contoh-contoh dibawah ini,
Manyubaranglah
disiko!
Menyeberang
PART disini!
‘Menyebranglah
(kamu) di sini’
Malompea?lah
ka mai!
Melompat
PART ke mari!
Melompatlah
(kamu) ke sini!
1.3.1.3 Kata
suruh Afirmatif Nah ‘Ayo’,’Ya’
Agak berbeda
dengan kata suruh cubo dan toloang yang cenderung menempati posisi
awal kalimat, kata suruh nah dapat
menempati posisi awal dan akhir kalimat. Selain itu, kata suruh nah yang berposisi di akhir kalimat
memiliki variasi bentuk, yaitu bentuk yeh
‘ya’ dan selalu berposisi di akhir kalimat. Dalam penggunaannya, kata suruh nah cenderung diikuti oleh kata penegas lay ‘lagi’. Kosntituen pengisi fungsi
P-nya bisa berupa verba monomorfenis dan polimorfemis. Pelaku verba kalimat
berpemarkah kata suruh nah hanya bisa
dilakukan oleh PRON I JI, seperti tampak pada contoh-contoh dibawah ini.
(32)
Nah
payi awa?
layi!
KATA SURUH AF. Pergi PRON I JI lagi!
‘Ayo kita pergi!’
(33) Payi
awa? lay nah!
Pergi PRON I JI KATA
SURUH AF.
‘Pergi kita ayo!’
(34)
Payi awak yeh!
Pergi PRON I JI KATA
SURUH AF.
Pergi kita ya!’
(35) *Yeh payi awak!
“Ya pergi kita!
Kalimat
(32) hingga (35) merupakan kalimat imperatif yang dimarkahi oleh intonasi dan
kata suruh ‘ayo’ atau beserta variasi yeh
‘ya’. Sajian kalimat (32) dan (35) memperlihatkan bahwa kata suruh nah bisa menempati posisi awal dan akhir
kalimat, sedangkan bentuk yeh hanya
dapat menempati posisi akhir, sebab posisi yeh
pada awal kalimat menghasilkan kalimat yang tidak berterima seperti yang tampak
pada kalimat (34) dan (35). Perbedaan lain antara kata suuruh nah dan cubo juga bisa diamati pada pelaku predikat verbanya, yaitu selalu
berbentuk pronomina persona jamak inklusif awak
‘kita’ dan cenderung terletak pada posisi mengikuti verba. Kalimat
imperatif berpemarkah kata suruh nah,
mengisyaratkan suatu ajakan oleh penutuir terhadap mitra tutur untuk
bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dinyatakan predikat.
4.3.1.4 Pemarkah
yang berupa kata Suruh Bia ‘BIAR’
Pemarkah
yang berupa kata suruh bia ‘biar’
cenderung merupakan pemarkah wajib dalam konstruksi kalimat imperatif karena
kehadirannya merupakan isyarat utama mengenai keimperatifan sebuah kalimat.
Pelaku verba kalimat berpemarkah kata suruh bia
hanya PRON I TG. Amatilah contoh-contoh berikut.
(38) Bia aden sapu rumah ko!
KATA SURUH AF. PRON I TG sapu
rumah ini
‘Biar saya sapu rumah
ini!’
(39) Bia awa? nan mambarasiahan bilia? Ko!
KATA SURUH AF. PRON I TG yang
membersihkan kamar ini!
‘biar kita yang
membersihkan kamar ini!’
Kalimat
(38) dan (39) di atas merupakan kalimat imperatif. Selain dimarkahi oleh
intonasi imperatif juga dimarkahi oleh kata suruh bia. Konstituen pengisi fungsi P diisi oleh verba monomorfemis dan
polimorfemis. Pelaku predikat hanya bisa dilakukan oleh PRON TG I. Kehadiran
pemarkah bia pada masing-masing
kalimat di atas dikatakan sebagai pemarkah wajib.
Perlu pula
dicatat di sini bahwa b.M.P tidak memiliki bentuk pemarkah leksikal tersendiri
untuk menyatakan silahkan atau mempersilahkan penutur b.M.P cukup
dengan menambahkan partikel {-lah} pada bentuk-bentuk kata tertentu. Dikatakan
demikian karena tidak semua bentuk dasar yang ditambahkan partikel {-lah} dapat
menyatakan makna persilahkan atau dengan partikel {-lah} itu mengisyaratkan
bentuk persilahkan atau mempersilahkan.
2.3.2 Pemarkah Berkategori
Leksikal Berupa Kata Suruh Negatif
Konstruksi
kalimat imperatif b.M.P yang berpemarkah
kata suruh negatif ini menampakkan adanya kekhasan atau kekhususan bila
dibandingkan dengan konstruksi kalimat imperatif bahasa Indonesia. Bentuk kategori fatis yang
digunakan dalam b.M.P ditentukan oleh jenis kalimatnya. Untuk kalimat imperatif
negatif biasanya digunakan kategori fatis nda?,
sedangkan untuk kalimat deklaratif negative digunakan kategori fatis doh.
Hal
lain yang menampakkan kekhasan b.M.P. adalah bahwa dalam konstruksi kalimat
imperatif negatif selalu diikuti oleh
konstituen berupa “kata penegas” yang
berfungsi sebagai pengintensif P dan
menunjukkan cirri intensitas. Ciri intensitas itu dimarkahi oleh konstituen lo “pula”. Selain itu, pada konstruksi
kalimat imperatif berpemarkah negatif
dapat pula ditambah atau diperluas dengan nagasi nda? “tidak” pada posisi mendahului atau mengikuti
pemarkah-pemarkah negatif tersebut.
Posisi tersebut sangat ditentukan oleh bentuk-bentuk pemarkah suatu kalimat.
Penambahan nagasi inda? Akan
berpegaruh terhadap makna suatu kontruksi kalimat bersangkutan. Bandingkan
kedua contoh berikut.
(42) jan (wa?)ang
agiah lo (we?)e ?
KATA
SURUH NEG. PRON II TG beri pula PRON III TG pitih nda?!
Uang af.
“jangan kamu beri dia uang!
(43) *jangan
kamu beri pula dia uang ndak!
“jangan
kamu beri pula dia uang tidak!
Kalimat
(42) merupakan kalimat imperatif negatif dalam b.M.P. selain dimarkahi oleh
intonasi imperatif juga dimarkahi oleh pemarkah negatif jan “jangan”, juga
hadirnya cirri intensitas lo “pula”
dan bentuk kategori fatis ndak sebagai cirri kalimat imperatif negatif b.MP, sedangkan pada kalimat (43)
kehadiran kata penegas pula dan kategori fatis ndak mengakibatkan kalimat itu tidak berterima. Ketidak terimaan
kalimat (43) mengisyratkan bahwa konstruksi kalimat imperatif negatif
bahasa Indonesia tidak menghendaki kata penegas pula dan kategori fatis ndak.
2.3.2.1
Kata Suruh Negative Jan “Jangan”
Kehadiran
pemarkah negatif jan dalam sebuah kalimat
imperatif afirmatif mengakibatkan terjadinya perubahan identitas kalimat
menjadi kalimat imperatif negatif. Dengan demikian pemarkah negatif jan dapat dipandang sebagai pengungkap
keimperatifan kalimat (kalimat imperatif negatif). Amatilah conto-contoh
berikut.
(46)
jan kau kuduang lo kayu tu!
KATA SURUH NEG. PRON II TG potong pula kayu
itu!
“jangan kamu potong kayu itu”
(47) jan laloa?
Lo (wa?)ang disinan nda?!
KATA SURUH NEG. tidur pula PRON II TG disana
af.!
“jangan tidur kamu disana!”
Kalimat
(46) dan (47) merupakan kalimat
imperatif negatif yang dimarkahi oleh intonasi imperatif dan permarkah
negatif jan yang berposisi langsung di depan verba. Akan tetapi dalam
kalimat yang topikal posisi jan bisa
mengikuti konstituen pengisi S. berbeda halnya dengan kata suruh
alfirmatif yang kehadirannya dalam
kontruksi sebuah kalimat imperatif cenderung bersifat ekstraklausal atau
bersifat opsional, kata suru negatif selalu bersifat klausal atau bersifat
wajib, karena dilihat dari segi sintaksis dan semantik merupakan bagian
internal kalimatimperatif. Kata suruh jan ini tidak dapat ditanggalkan.
Bila ditanggalkan, akan memicu terjadi perubahan bentuk nda? Yang semula merupakan kategori fatis setelah lepasnya pemarkah
negatif jan berubah menjadi ekor tanya sehingga terjadi perubahan pola
intonasi dan dengan sendirinya akan menghasilkan kalimat berjenis lain, yaitu
kalimat interogatif. Dengan demikian secara sintaksis dan semantik kalimat itu
telah mengalami perubahan. Amatila contoh berikut.
(46a) kau
kuduang lo kayu tu nda?
PRON
II TG potong pula kayu itu (bu)kan?
“kamu
potong pula kayu itu (bu)kan?.
(47a) laloa?
Lo (wa?) ang di sinan nda?
Tidur pula PRON II TG di sana bukan?
“tidur
pula kamu di sana (bu)kan?
Lepasnya kata suruh jan pada masing –masing kalimat di atas, secara sintaktik telah
mengubah tipe imperatif negatif menjadi kalimat interogatif secara semantik
telah terjadi perubahan makna yang semulanya bermakna “larangan” untuk tidak
berprilaku sesuai dengan tuntutan predikat berubah menjadi “bertanya” atau
menanyakan”. Terjadinya perubahan tipe pada masing-masing kalimat di atas
mengisyaratkan bahwa pemarkah negatif jan
itu bersifat sebagai pemarkah wajib dan dapat dinyatakan sebbagai pemarkah
kalimat imperatif negatif.
2.3.2.2
Kata Suruh Negative Usah
Pemarkah negatif usah memiliki
banyak kesamaan dengan pemarkah negatif jan.
dikatakan demikian karena kedua bentuk pemarkah ini dapat saling mengantikan
dalam semua konteks kalimat imperatif negatif serta menampakakan sejumlah
perilaku yang sama. Persamaan tersebut terlihat pada konstituen pengisis
fungsinya, baik konstituen pengisi fungsi P,S atau pengisi fungsi lainnya dapat
diisi oleh konstituen yang berkategori sama serta sama-sama berfrase dengan
inda? Buliah “tidak boleh”. Akan tetapi bila dilihat dari frekuensi
penggunaanya, maka pemarkah negatif usah
lebih jarang digunakan dibandingkan pemarkah negatif jan.
di samping itu, pemarkah negatif jan
lebih formal daripada pemarkah negatif usah.
2.3.2.3
kata suruh negative antilah ʻjanganʼ
Dalam penggunaan pemarkah ini
cendrung diikuti oleh kata penegas lo dan lay yang terletak di belakang P.
contoh berikut adalah hal yang berhubungan dengan itu.
(55)
Antilah pai lo kau
ka ingkin lay!
KATA SURUH NEG. pergi pula PRON II
TG ke sana lagi
ʻjangan pergi kamu ke sana!.
(56) Antilah
(wa)ang sabui? Ko ka (we?)e
lay!.
KATA SURUH NEG. PRON II TG sebut
pula ke PRON II TG lagi!.
ʻjangan kamu katakana kepada dia!.
Bila kalimat di atas ditambah dengan
bentuk lingual indah? Pada masing-masing pemarkah negatifnya, baik pada posisi
mendahului atau mengikutinya, maka kalimat di atas menjadi tidak berterima atau
diragukan keberterimaanya. Perhatikan contoh kalimat berikut.
(55a)
*Indah? antilah pai lo kau ka ingkin lay!
ʻTidak jangan pergi kamu ke sana!
(55b)
?Antilah Indah? payi lo kau ka ingkin lay!
ʻJangan tidak pergi kamu ke sanaʼ!
(56a)
*Inda? Antilah (wa?)ang sabui? Lo ka (we?)e lay!.
ʻTidak jangan kamu sebut kepada dia!.
(56b) ?Antilah inda? (wa?)ang sabui? Lo
ka (we?)e lay!.
ʻJangan tidak kamu sebut kepada
dia!ʼ.
Berdasarkan
urain tentang pemarkah berupa kata suruh, baik kata suruh afirmatif, maupun
kata suruh negatif dapat ditarik kesimpulan bahwa kata suruh tersebut dapat
berkolokasi dengan pelaku verba berupa PRON I TG, PRON II TG, dan PRON I Jl.
Dari ketiga pronominal ini, PRON II TG lebih senantiasa berkolokasi dengan
pemarkah yang berupah kata suruh.
Berikut
ini disajikan bagan kolokasi masing-masing pemarkah dengan pelaku verba kalimat
impertif b.MP.
Kolokasi
pemarkah yang berupa kata suruh dengan pelaku verba
|
Kata
Suruh
|
PRON
I TG
|
PRON
II TG
|
PRON
I Jl
|
|
Cubo
|
+
|
+
|
+
|
|
Toloang
|
-
|
+
|
-
|
|
Nah
|
-
|
-
|
+
|
|
Bia
|
+
|
-
|
-
|
|
Jan
|
+
|
+
|
+
|
|
Usah
|
-
|
+
|
+
|
|
Antilah
|
+
|
+
|
+
|
Keterangan +
·
Mengisyaratkan
bahwa kata suruh itu dapat brkolokasi
dengan PRON dalam lajur yang sejajar.
Keteranagn -
·
Mengisyaratkan
bahwa kata suruh itu dapat brkolokasi
dengan PRON dalam lajur yang sejajar.
2.
KLASIFIKASI KALIMAT IMPERATIF BMP
Berdasarkan
konstituen-konstituen pengisi fungsi P yang dilandasi pada kadar tranitifitas
verba dan reaksi verba, maka kalimat imperative b.M.P dapat diklasifikasikan
atas beberapa tipe, yaitu (1) kalimat imperatif transitif, (2) kalimat
imperatif instransitif, (3) kalimat imperatif aktif, dan (4) kalimat imperatif
pasif. Adapun berdasarkan watak konstituen-konstituen verba pengisi fungsi P
dan berdasarkan pemarkah-pemarkah kalimat imperatif, maka kalimat imperatif
b.M.P dapat diklasifikasikan menjadi enam tipe, yaitu (1) kalimat imperatif
transitif, (2) kalimat imperatif intransitive, (3) kalimat imperatif aktif, (4)
kalimat imperatif pasif, (5) kalimat imperatif afirmatif, dan (6) kalimat
imperatif negative atau larangan.
2.1 Kalimat Imperatif Transitif.
Untuk
kalimat kalimat imperatif transitif verba pengisi fungsi P-nya diisi oleh verba
transitif yaitu tipe verba yang menuntut kehadiran konstituen berupa objek (O)
sebagai pendamping verba yang selalu berposisi dibelakang verba, sehingga
kalimat ini setidaknya berstruktur P-O dan memiliki peluang untuk berstruktur
P-O-(K) dan (S)-P-O-(K). Simaklah sajian contoh-contoh kalimat dibawah ini.
(1)
Agiahlah ama?
(wa?)ang pitih!.
Beri
PART ibu PRON II TG uang!.
‘berilah
ibumu uang itu!.
Kalimat
(1) merupakan kalimat imperatif transitif berstruktur P-O. ketransitifan
kalimat itu tampak dari tipe masing-masing verba pengisi fungsi P-nya, yaitu
verba agiahlah ‘beri’ yang menuntut
hadirnya unsur yang menduduki fungsi O sebagai pendamping verba. Kehadiran
masing-masing unsur O pada kalimat itu, dalam hal ini adalah kalimat (1)
menampakkan adanya peran, diisi oleh peran ‘benefaktif’.
Sebagai
bukti bahwa kalimat (1) di atas merupakan kalimat imperatif transitif atau
berstruktur P-O dapat diuji dengan teknik balik, sehingga menghasilkan tuturan
kalimat (1a) sebagai berikut.
(1a) *pitih agiahlah ama? (wa?)ang!.
‘Uang berilah ibumu’.
Uji
sintaktik kalimat (1a) memperlihatkan bahwa kalimat (1) tidak bisa dibalik
susunannya atau dengan kata lain konstituen pengisi fungsi yang terletak
dibelakang verba tidak dapat dipindahkan ke depan verba, karena menghasilkan
kalimat yang tidak berterima. Ketidakberterimaan kaliamat (1a) mengisyaratkan
bahwa konstituen yang terletak dibelakang verba ini merupakan O yang secara
tegar terletak dibelakang verba itu merupakan O yang secara tegar terletak di
belakang verba dan sekaligus merupakan ciri kalimat transitif. Dengan demikian
dapat disimpulakn bahwa kalimat (1) merupakan kalimat imperatif transitif.
2.2 Kalimat Imperatif Intransitif
Tipe
kalimat imperatif intransitif ini verba pengisi fungsi P-nya diisi oleh verba
intransitive yang tidak menuntut kehadiran konstituen pengisi fungsi O sebagai
pembanding verba. Akan tetapi pada tipe kalimat ini senantiasa hadir partikel
imperative {-lah} sebagai penegas atau penghalus perintah dan bentuk lay yang
berfungsi sebagai pengintensif P dan selalu berposisi di akhir kalimat.
Contohnya sebagai berikut.
(2)
(Wa?)ang laloa?lah lay!
PRON II TG tidur PART lagi!.
‘(Kamu) tidurlah!.’
PRON II TG tidur PART lagi!.
‘(Kamu) tidurlah!.’
Kalimat
(2) merupakan kalimat imperatif
intransitif. Keintransitifan kalimat itu tampak dari watak masing-masing verba
pengisi fungsi P-nya, yaitu verba laloa?
‘tidur’ yang tidak menuntut hadirnya konstituen pengisi fungsi O sebagai
pendamping verba. Adapun penambahan artikel {-lah} pada kalimat diatas
berfungsi sebagai penegas atau penghalus perintah, sedangkan kata lay berfungsi sebagai pengintesif P.
2.3 Kalimat Imperatif Aktif
Kalimat
imperatif aktif verba pengisi P-nya bisa berupa verba transitif dan verba
intransitif. Apabila verba pengisi fungsi P-nya berupa verba transitif, maka
verba pengisi fungsi P-nya cenderung berupa verba bntuk zero, kecuali bila
pengisi fungsi P itu berupa verba transitif yang digunakan secara absolut. Akan
tetapi, bila pengisi fungsi P diisi oleh verba intransitif, maka verba pengisi
fungsi P-nya cenderung mempertahankan afiks, bila verbanya diawali prefiks.
Contohnya sebagai berikut.
(3)
Balilah lado padi ka lapau uni
parida!.
beliPART lada padi ke warung kakak NAMA!.
‘beli cabe rawit ke warung kak parida!
beliPART lada padi ke warung kakak NAMA!.
‘beli cabe rawit ke warung kak parida!
(4)
Lakea?an sarawa
nan ranca?.
pakai celana yang bagus.
‘pakai celana yang bagus’
pakai celana yang bagus.
‘pakai celana yang bagus’
(5)
(Ajo) anoa?lah
lay!.
(kakak diam PART lagi!.
‘(kakak) diamlah!.’
(kakak diam PART lagi!.
‘(kakak) diamlah!.’
(6)
(Kau) laloa?lah lay!.
PRONT II TG tidur PART lagi.
‘(kamu) tidurlah!.’
PRONT II TG tidur PART lagi.
‘(kamu) tidurlah!.’
Kalimat
(3) hingga (6) merupakan kalimat imperatif aktif. Akan tetapi tipea verba aktif
pengisi fungsi P kalimat (3) dan (4) berbeda dengan tipe verba kalimat (5) dan
(6). Pada kalimat (3) dan (4) verba pengisi fungsi P-nya berupa verba aktif
transitif, yaitu verba belilah dan lakea?an yang mengharuskan hadirnya
konstituen berupa O sebagai pendamping verba, sedangkan pada kalimat (5) dan
(6) verba pengisi fungsi P-nya berupa verba intransitif, yaitu verba anoa? Dan laloa?
Yang tidak menuntut kehadiran O.
dengan demikian, kalimat (4) hingga (6) dapat dikatakan sebagai kalimat imperatif
aktif.
2.4 kalimat imperatif
pasif
Kalimat
imperatif aktif adalah kalimat imperatif pasif. untuk kalimat imperatif pasif
dapat dipastikan bahwa verba pengisi fungsi p-nya berupa verba pasif. Dalam
bahasa minang kabau (b.M.P) verba pengisi fungsi p kalimat imperatif pasif
biasa berupa verba untuk dasar dan dengan menambahkan awalan (di-) pada verbanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
oleh Robin (1989:331) bahwa dalam gramatika bahasa, kalimat pasif tidak harus
mengungkapkan pelaku verba. Sajian data berikut
Contoh-contoh yang berhubungan dengan itu.
(7)
lulua ubea? tu!.
Telan obat itu!.
‘Telan obat itu!’.
(8)
Didukuang alua? tu!.
Dipotong ikan itu!.
‘Dipotong ikan
itu!.
Kalimat (7) dan (8) adalah kalimat imperatif
pasif. Disebut pasif karena konstituen ube?
Tu dan laua? Tu
Pada kalimat (7) dan
(8) menduduki fungsi S sehinggah truksturnya bisa dibalik menjadi S-P. dengan
kata lain S bisa terletak di depan p.
2.5.Kalimat Imperatif
Afirmatif
Pengkalisifikasian
kalimat imperatif afirmatif ini berdasarkan pada pemarkah-pemarkah kalimat
imperatif yang didasarkan pada pemarkah afirmatif dan pemarkah negatif.
Berdasarkan pada pemarkah afirmatif dan pemarkah negatif tersebut, maka kalimat
imperatif b.M.P dapat diklasifikasikan atas kalimat imperatif dan kalimat
negatif.
Kalimat imperatif afirmatif adalah imperatif yang
dimarkahi oleh pemarkah-pemarkah yang berkategori intonasi, gramatika, dan
leksikal. Kalimat imperatif ini dibentuk dengan menambahkan pemarkah afirmatif
pada konstituennya pengisi fungsi p, atau dengan lesapnya afiks pada konstituen
pengisi p. Perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
(9)
laloa?!.
Tidur!.
‘tidur!.
(10)
lupoan paja tu!.
Lupakan PRO 111 TG itu!.
‘lupakan anak itu!’.
(11)
manjai? Lah!.
Menjahit PART!.
‘menjahitlah’.
(12)
cubo peloa?an kutangin tu!.
Kata suruh af. Perbaikin
sepeda itu!.
‘coba perbaiki sepeda itu!.
(13)
toloang kubak kuli? jaRiang tu!.
Kata suruh af. Kupas kulit
jengkol itu!.
‘tolong kupas kulit jengkol
itu!’.
Kalimat (9) hinggah
(13) merupakan kalimat imperatif afirmatif. Keafirmatifan masing-masing kalimat
itu dimarkahi oleh pengisi fungsi p-nya dibentuk dengan menambahkan atau
lesapnya pemarkah berkategori gramatikal pada bentuk dasar konstituen pengisi
fungsi p seperti yang tampak pada kalimat (10) dan (11), yaitu lesapnya afiks
(maN-) pada konstituen pengisi fungsi p kalimat pada (10) dan dengan hadirnya
atau bertahannya (maN-) dan (-lah) pada konstituen pengisi fungsi p pada
kalimat (11). Adapun pada konstituen pengisi fungsi p pada kalimat (12) dan
(13) keafirmatikan dengan menambahkan pemarkah berkategori leksikal yang berupa
kata suruh afirmatif di depan konstituen pengisi fungsi p masing-masing kalimat
tersebut, yaitu kata suruh cubo, toloang.
2.6 kalimat imperatif
negative
Kalimat imperatif
afirmatif bentuk pemarkahnya meliputi pemarkah berkategori leksikal, sedangkan
untuk imperatif negatif, bentuk pemarkahnya hanya berkategori leksikal saja,
yaitu pemarkah berupa kata suruh negative jan, usah, dan antilah. Akan tetapi
kontruksi kalimat imperatif negative selain dimarkahi oleh pemarkah berkategori
leksikal dapat pula ditambahkan dengan kategori gramatikal.
Biasanya dalam b.M.P
kalimat imperatif negative ini dibentuk dengan menempatkan pemarkah negative
jan, usah, dan antilah yang senantiasa berposisi di awal atau di depan verba.
Biasanya verbanya terbatas pada Pron 11 TG dan Pron 1 Jl. Akan tetapi dalam
b.M.P pelaku verba kalimat imperatif berpemarkah negative cenderung berupa Pron
11 dan kadang-kadang Pron 1 TG. Hal itu desebabkan karena larangan biasanya
ditunjukkan kepada mitra tutur, sedang keputusan si penutur untuk tidak
melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri tidak perlu dimintakan izin atau
persetujuan dari orang lain (periksa lapoliwa, 1989: 204). Contoh.
(14)
jan payi lo kau nda?!.
Kata suruh neg. Prog 11 TG
ambil pula Pron 11 TG af!.
‘
jangan pergi kamu!’.
(15)
usah kau ambia?lo
karataih tu nda?.
Kata suruh neg. Prog 11 TG
ambil pula kertas itu af!
‘jangan kamu ambil kertas
itu!.’
(16)
Antilah (wa?)ang kecea?an lo ka ama? Nda?!.
Kata suruh neg. Prog 11 TG katakana pula
ke KSP af!.
‘jangan kamu katakan kepada ibu!’.
Kalimat (14) hinggah (16) di atas merupakan
kalimat imperatif negatif. Kenegatifan kalimat-kalimat itu dimarkahi oleh
pemarkah-pemarkah negative yang berposisi di awali kalimat seperti yang tampak
pada kalimat (14) dan (16). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran
pemarkah-pemarkah negative dalam kontuksi kalimat (14) hinggah (16) di atas
secara sintaksis membentuk kalimat imperatif yang menyatakan makna larangan.
3. MODUS KALIMAT PENGUNGKAP MAKNA PERINTAH
Makna
perintah dapat diungkapkan dengan dua bentuk tuturan yaitu dengan bentuk
tuturan langsung dan tuturan tidak langsung. Pengungkapan makna perintah dengan
bentuk tuturan langsung cenderung diutarakan dengan satu modus kalimat, yaitu
dengan modus kalimat imperative sedangkan pengungkapan makna perintah dengan
bentuk tuturan tidak langsung dapat diungkapkan dengan dua modus kalimat, yaitu
dengan modus kalimat deklararif dan interogatif. Pengungkapan makna perintah
dengan modus kalimat imperatif terkait dengan kajian structural, sedangkan
pengungkapan makna perintah yang diutarakan dengan modus kalimat deklaratif dan
interogatif terkait dengan kajian pragmatic.
Alwi dalam Noviatri (1992:201)
menyebutkan bahwa ketaklangsungan dalam menyatakan makna perintah itu ditandai
oleh tidak hadirnya unsure sintaksis dan unsur leksikal secara eksplisit, yang
mengimplikasikan suatu gradasi kesantunan, sedangkan dalam tuturan langsung
unsure sintaksis dan unsure leksikal yang menyatakan makna ‘perintah’
dinyatakan secara eksplisit.
Dalam interaksi berbahasa, terutama
dalam bahasa lisan akan terlibat penutur atau pembicara dan mitra tutur atau
mitra bicara. Dalam kegiatan bertutur berbagai strategi bisa dimanfaatkan
penutur dalam memilih bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang
berbeda-beda agar mitra tutur tidak kehilangan ‘muka’ atau tuturan yang
digunakan tidak menimbulkan ‘muka negatif’ (Wijana.1996:68).
Secara konvensional bentuk tindak
tutur tidak langsung itu digunakan untuk menggan ti bentuk-bentuk kebahasaan
(dalam hal ini kalimat) yang berkenaan dengan penghalusan atau kesopanan dengan
tujuan agar mitra tutur tidak begitu merasa bahwa dirinya diperintah yang
secara sosiologis mungkin akan menyangkut masalah nilai sosiokultural
masyarakat bahasa bersangkutan. Contoh:
(1). Ari angea? bana ha.
hari hangat benar.
‘Cuaca panas sekali’.
hari hangat benar.
‘Cuaca panas sekali’.
(2). Alun juo makan (wa?)ang lay?, lah pukua.
belum juga makan PRON II TG lagi? Sudah jam satu ari.
‘Kamu belum juga makan sudah jam satu’
belum juga makan PRON II TG lagi? Sudah jam satu ari.
‘Kamu belum juga makan sudah jam satu’
Kalimat (1) merupakan kalimat yang
bermodus deklaratif, dan kalimat (2) bermodus interogatif. Bantuk tuturan
masing-masing kalimat merupakan tuturan tidak langsung akan tetapi bermaksud
memerintah sebab tuturan kalimat-kalimat itu tidak hanya sekedar
menginformasikan atau menanyakan sesuatu pada mitra tuturnya tetapi tuturan
tersebut mengandung maksud tertentu dari penuturnya, yaitu mengandung maksud
perintah atau menyatakan makna perintah.
Fokus kajian pragmatik adalah maksud
penutur secara tersurat atau tersirat dibalik tuturan yang dianalisis atau yang
diacu melalui konteks tuturan, terutama maksud yang diimplikasikan hanya dapat
diidentifikasikan lewat penggunaan bahasa bersangkutan dengan mempertimbangkan
secara seksama komponen-komponen tutur. Leech mengidentifikasikan
komponen-komponen tutur sebagai berikut.
(1) Penutur
dan Mitra tutur
(2) Konteks Tuturan
(3) Tujuan tuturan
(4) Tujuan sebagai bentuk tindakan dan aktivitas
(5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
(2) Konteks Tuturan
(3) Tujuan tuturan
(4) Tujuan sebagai bentuk tindakan dan aktivitas
(5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
3..1.1.2 Pengungkapan Makna Perintah
dengan Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal dengan Modus kalimat
Interogatif
Pengungkapan
makna ‘perintah’ atau ‘memerintah’ dapat pula diutarakan dengan tindak tutur
tidak langsung literal dengan kalimat bermodus interogatif. Dilihat dari
struktur sintaktiknya, kalimat ini merupakan kalimat interogatif yang
mengandung makna dasar bertanya, tetapi dalam hal ini kalimat interogatif itu
berfungsi menyatakan perintah atau menyuruh mitra tuturnya bertutur secara
sopan dan secara halus.
Contoh:
(5)
Ma kunci oto ri
Mana
kunci mobil nama
‘Mana
kunci mobil Eri?’
(6) bilo juo (wa?)ang
kabaraja lay, dari tadi
Bila juga PRON II GT akan belajar lagi, dari tadi
Main taruih
Main terus
‘Ka pan kamu
akan belajar, dari tadi bermain saja’
Kalimat
(5) dan (6) merupakan kalimat bermodus interogatif yang mengandung makna dasar
berupa pertanyaan. Kalimat ini dimanfaatkan oleh penutur untuk mengungkapkan
makna perintah, karena tuturan-tuturan kalimat itu tidak hanya sekedar
menanyakan letak kunci dan kapan akan belajar kepada mitra
tuturnya, akan tetapi ada maksud yang tersirat di balik tuturan itu, yaitu
untuk memerintahkan atau menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu, seperti
yang tersirat dalam tuturan tersebut.
Tuturan
kalimat (5) menyiratkan makna perintah, penutur memerintahkan mitra tuturnya
secara tidak langsung untuk mengambilkan kunci mobil, sedangkan tuturan kalimat
(6) menyiratkan perintah untuk belajar.
3.1.2 Pengungkapan Makna Perintah dengan Tindak Tutur Tidak
Langsung Tidak Literal
Wijana dalam noviatri (1996:35-36) tindak
tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan
modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud tuturan yang hendak
diutarakan. Sama halnya dengan pengungkapan tindak tutur tidak langsung yang
literal, tindak tutur tidak langsung yang tidak literal juga dapat diutarakan
dengan modus kalimat deklaratif dan modus interogatif.
3.1.2.1 Pengungkapan
Makna Perintah dengan Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal dengan Modus
kalimat Deklaratif
Tindak tutur tidak langsung tidak
literal dengan modus kalimat deklaratif adalah tindak tutur yang diutarkan
dengan modus kalimat deklaratif, tetapi makna kalimatnya tidak sesuai dengan
maksud pengutaraannya.
Contoh :
(7) Barasiah bana lantai awak nyeh
Bersih benar lantai PRON I JI af
‘bersih benar lantai rumah kita’
(8)
Lembe? Bana bunyi tv mah, paka? Talingo den
Lambat
benar bunyi TV, tuli kuping PRON I TG
de?e olehnya
‘Pelan
sekali suara TV-nya membuat kuping saya jadi tuli tidak bisa mendengar bunyi
lain’
Tuturan kalimat (7) dan (8) adalah
tuturan yang diutarakan dengan modus kalimat deklaratif. Oleh penutur tuturan
ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintahkan pembantunya membersihkan
lantai rumah yang kotor dan memperkecil volume TV dengan cara tidak langsung.
3.1.2.2 Pengungkapan Makna Perintah
dengan Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal dengan Modus kalimat
Interogatif
Tidak jauh berbeda dengan tindak tutur
tidak langsung tidak literal yang bermodus kalimat deklaratif, pengungkapan
makna perintah dengan tindak tutur tidak literal yang diutarakan dengan modus
kalimat interogatif pun memiliki makna tuturan yang tidak sesuai dengan tuturan
kalimat yang diutarakannya.
Contoh :
(9)
Ranca? Bana baju kau mah, indak ado nan
Cantik
benar baju RONT II TG af, tidak ada yang
Lain
nan ka (wa)? Ang
lakea?an lay?
Lain
yang akan PRON II TG pakai lagi
‘Cantik
sekali baju kamu. Apakah tidak ada pakaianmu selain itu?
(10) Elo bana parangai paja tu, amuah (wa?)ang
Baik
benar perangai PRON II TG itu mau PRON II TG
Meninju
(we)?e meninju PRON II TG
‘baik
sekali tingak laku anak itu. Maukah kamu meninju kepalanya?
Tuturan kalimat (9) dan (10)
merupakan tuturan yang diutarakan dengan kalimat bermodus interogatif yang
secara tidak langsung bermaksud menyuruh mitra tuturnya untuk mengganti
pakaiannya seperti yang tersirat dalam tuturan (9) dan menyuruh seseorang untuk
meninju mitra tutur karena dianggap kurang pantas dalam berpakaian, seperti
yang tersirat pada tuturan kalimat (10). Akan tetapi, masing-masing tuturan
kalimat itu memperlihatkan bahwa tuturan itu diutarakan dalam modus kalimat dan
makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Artinya
tuturan kalimat (9) dan (10) mengisyaratkan makna yang tidak sesuai dengan
pengutaraannya, namun kedua tuturan itu secara tidak langsung bermaksud sebagai
perintah.
BAB
III PENUTUP
Dilihat
dari pemarkah-pemarkahnya, kalimat imperatif BMP dimarkahi oleh tiga kategori
pemarkah, yaitu 1) permakah berkategori intonasi, 2) pemarkah berkategori
gramatikal, 3) pemarkah berkategori leksikal. Disisi lain, yaitu pada verba
transitif yang digunakan secara absolut, afiks {maN-} tetap bertahan dan memicu
hadirnya partikel {-lah} yang bersifat wajib. Selain itu, pada verba pengisi
fungsi P yang berupa verba instransitif, afik juga cenderung bertahan. Penambah
partikel {-lah} pada tipe verba ini cenderung bersifat opsional.
Berdasarkan
konstituen-konstituen pengisi fungsi P (verba)-nya yang didasari oleh kadar
transitifitas verba atau ada tidaknya reaksi verba, dan berdasarkan
pemarkah-pemarkah kalimat imperatif BMP, yang didasari oleh pemarkah afirmatif
dan permakah negatif dengan berpijak pada kriteria makna, maka kalimat
imperatif BMP dapat diklasifikasikan atas 8 subjenis, yaitu (1) kalimat
imperatif transitif, (2) kalimat imperatif intransitif, (3) kalimat imperatif
aktif, (4) kalimat imperatif pasif, (5) kalimat imperatif permintaan atau pertolongan,
(6) kalimat imperatif ajakan, (7) kalimat imperatif tawaran, (8) kalimat
imperatif larangan.
Ada
tiga modus kalimat pengungkap makna perintah dalam BMP, yaitu pengungkapan makna
perintah dengan modus kalimat imperatif, pengungkapan modus dengan kalimat deklaratif,
dan pengungkapan dengan modus kalimat interogatif. Pengungkapan masing-masing makna
perintah itu sangat ditentukan oleh jenis-jenis tindak tutur yang digunakan.
3.2.
Saran
Semoga
mempelajari dan memahami pembahasan kalimat tunggal ini bisa mengetahui pola
dasar dan perluasan kalimat tunggal. Oleh sebab itu penulis mengharapkan agar
ada penambahan dalam referensi lainnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca serta dapat menambah wawasan kita khususnya di dalam mata kuliah
Sintaksis ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009.
Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Noviatri. 2011. Kalimat Imperatif Bahasa
Minangkabau. Sumatera Barat: Minangkabau Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar